Senin, 05 Oktober 2020

Tak ada yang menduga, pandemi Covid-19 akan menghantam keras dunia secara global. Dan, tak ada yang bisa menebak kapan penyakit yang disebabkan oleh virus Corona ini akan berakhir. Yang bisa kita lakukan adalah melakukan penyesuaian diri. Karena, manusia adalah mahluk paling adaptif di segala perubahan zaman.

-----

Sejak Maret 2020 hingga sekarang, separuh waktu saya ‘dirumahkan’. Bukan dipecat dari pekerjaan kantor. Dan bukan pula berstatus work from home. Karena memang saya tidak berstatus bekerja dari rumah. Konsekuensinya pun jelas. Absensi kehadiran separoh, gaji pun dipotong menjadi setengah.

Setiap tanggal 25, menjadi penentuan apakah jadwal masuk kantor saya tetap ataukah mengalami perubahan. Apakah berada dalam satu grup yang sama, ataukah terjadi rolling dengan anggota grup yang lain.

Meski dipotong gaji yang bisa saya bawa pulang (take home pay), namun kewajiban-kewajiban perusahaan seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan dan tunjangan lainnya semacam lembur dan bonus tetap diberikan – jika perusahaan menuntut lembur atau pekerjaan harus dibawa pulang ke rumah.

Semua tetap harus disyukuri, perusahaan percetakan dan penerbitan tempat saya bekerja masih mempertahankan para karyawannya – dalam artian tidak ada pemecatan, di saat banyak perusahaan yang gulung tikar dan berakhir kepada gelombang PHK besar-besaran.

Saat ini, saya bekerja sebagai penanggung jawab penerbitan buku dan sekaligus marketing di Divisi Marketing Project di perusahaan percetakan dan penerbitan Awfamedia (info perusahaan bisa dicek di awfamedia.com).

Soal perusahaan yang tidak menggaji secara full, bukan tanpa alasan. Selain karena terdampak akibat pagebluk Covid-19 – omset turun hingga bersisa 40% saja, juga untuk mematuhi himbauan pemerintah, terkait protokol kesehatan – salah satunya mengatur soal jumlah karyawan yang boleh masuk 50% saja.

Dan, begitulah. Semuanya menjadi terasa begitu gegas ‘dipaksakan’. Belajar cepat meeting virtual – sekaligus menyesuaikan diri dengan fitur-fitur software pendukungnya, belajar cepat menguasai emosi yang kadang naik ke ubun-ubun – kala menemani anak belajar daring di rumah, sampai bagaimana mencari peluang di tengah kondisi yang serba tidak pasti.

Dan laler pun ikut menjauh...
(Foto: Grup WA karyawan kantor/Kartun lalat: pixabay)

Ada satu hal saya takutkan dari kondisi pandemi ini. Ya, apalagi kalau bukan soal keuangan. Di mana, orang cenderung menjadi gelap mata saat dalam keadaan sempit ekonomi ditambah sempit iman. Niat curang, cenderung muncul saat terbuka peluang di saat tak ada lagi uang.

Okelah, sejak Maret 2020 sampai akhir Agustus 2020, masih cukup tabungan untuk memenuhi kebutuhan dapur hingga kebutuhan sekolah anak. Namun, begitu memasuki bulan Oktober 2020 ini kondisi keuangan mulai sulit. Tabungan saya sudah habis dan tabungan anak juga mulai ‘dipinjam’ tanpa tahu kapan akan dikembalikan.

Asuransi pendidikan anak, arisan hingga ragam cicilan pun mulai tersendat pembayarannya.

Saya tak ingin menyesali keadaan. Karena semua yang berada di luar kuasa kita, adalah takdir. Bukan hanya saya, Pak Jokowi bersama para menteri senior pun pasti sudah pusing tujuh keliling. Sekelas pemerintah Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Eropa saja sudah limbung dan perekonomian mereka sudah masuk ke dalam jurang resesi.

Resesi melanda dunia gara-gara pandemi Corona.
(Ilustrasi : CNNI, CNBCI, Kompas, Serapan.com)

Masih beruntung, selain bekerja di kantor, saya juga mengambil pekerjaan sampingan seperti menjadi editor di sebuah website berita online, layout buku dan tabloid hingga freelance desain grafis.

Masih cukuplah untuk menghidupi ekonomi keluarga, meski harus diakui sangat pas-pasan. Apalagi, tiga sumber utama pemasukan saya itu punya masalah tersendiri :

  1.        Gaji kantor suka telat. Sudahlah dipotong sampai 50%, tanggal gajian sering molor dan seringkali perusahaan mengambil kebijakan pemberian kasbon sebesar Rp 500 ribu di awal, saat keuangan kantor tidak memungkinkan untuk membayar seluruh gaji karyawan pada tanggal semestinya. 
  2. Pencairan honor ketiga pemasukan ‘tetap’ saya juga waktunya tidak bersamaan. Ada yang tanggal 27, ada tanggal 10 dan satunya tidak tetap. Karena menunggu pencairan dari instansi bersangkutan. 
  3. Sementara untuk honor yang tidak tetap, mustahil bagi saya menggantungkan harapan. Kadang banyak – kadang sepi. Kadang cuma seratus dua ratus ribu, namun adakalanya omsetnya bisa sampai puluhan juta. Namanya juga rezeki macan.

Satu hal yang perlu menjadi perhatian kita – terutama saya. Jangan mau terpaku dan cenderung menyalahkan keadaan semata. Masih terbuka lebar untuk mencari penghasilan di era kenormalan baru. Membuka usaha sendiri, menjual kreativitas dan lainnya.

Apalagi saat ini kerumunan orang tidak lagi di mal, ataupun di cafe. Selain akan dibubarkan oleh Satgas Covid-19 karena sangat dilarang terkait dengan protokol kesehatan. Juga karena revolusi digital kini memungkinkan kampanye usaha kita bisa langsung muncul di gadget yang ada di tangan calon konsumen. Personal dan setiap saat.

Apakah kamu juga telah memikirkannya? Yuk berbagi di kolom komentar..

Tabik!

Pakdezaki . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates