Sabtu, 03 Oktober 2020


Tuut.. Tuuut...

Nada sambung terdengar di ujung sana, saat Florence menghubungi nomor suaminya, Arjuna. Tak lama suara orang yang dicintainya menyapa.

Ya halo, Ma?”.

“Papa di mana? Mama sepertinya sudah tiba waktunya..”, ujar Florence sambil menahan sakit di perutnya.

“Wah, Ma. Papa lagi meeting di kantor. Tapi Papa pesankan dari sini taksi online ya.. Mama siap-siap saja di rumah. Minta tolong Ceuh Inah untuk siapin kebutuhan mama ya.. Setengah jam lagi Papa susul”, kata Arjuna. Ada nada khawatir.

“Iya Paa..”, tak tahan lagi rasanya Florence dengan sakit di bagian bawah perutnya. Meremas-remas. Rasanya tak karuan, antara mau buang air kecil atau buang air besar. Ditingkahi sakit perut luar biasa yang datang bergantian.

Telpon terputus. Ceuh Inah sudah siap di depan pintu. Menyambut majikannya untuk diantarkan ke Klinik RSIA. Tidak jauh, hanya berjarak 3 km saja dari kompleks perumahan.

Tak lama, suara telpon kembali berdering. Suara pria terdengar ramah. Driver taksi online. Ia sudah ada di depan pagar rumah.

Bak sopir profesional, tanpa banyak bertanya, sang sopir membantu konsumennya untuk menaiki mobilnya. Ditemani Ceu Inah, Florence pun berangkat ke klinik RSIA. Pedal gas dibejek, mobil segera membelah padatnya lalu lintas kota Jakarta siang itu.

Tak sampai setengah jam, ia tiba di rumah sakit ibu dan anak yang telah menjadi langganannya sejak awal kehamilan dulu. Ia mempunyai jadwal tetap mengunjungi RSIA tersebut untuk berkonsultasi dengan dokter Abraham, dokter spesialis kandungan yang terkenal ramah itu.

Para tenaga medis siap siaga menyambutnya dan langsung dibawa ke ruang persalinan. Tak lama, Arjuna juga tiba di RSIA itu. Menemani dan menguatkan sang istri selama masa persalinan.

Pukul 12.00, bayi laki-laki pertama pasangan muda itupun lahir dengan selamat, kala azan Zuhur berkumandang.

Arjuna lega. Semua persiapan yang sudah ia lakukan sejak jauh-jauh hari berbuah manis. Anaknya lahir sehat dan Florence istrinya selamat dengan pelayanan medis nan prima di klinik bersalin nomor satu di Jakarta itu. Ia kini cukup mengurus biaya persalinan, esok hari sudah bisa pulang ke rumah.

Begitulah, sebagian besar dari kita yang hidup di kota besar. Tinggal memilih fasilitas kesehatan mana yang akan dikunjungi. Puskesmas yang semakin baik dan mudah dijangkau, bidan yang bertebaran hampir di setiap lingkungan perumahan atau jika punya kemampuan lebih, kita bisa memilih layanan yang lebih privat dan prima, seperti ilustrasi kisah Arjuna dan Florence di atas.

Sementara itu, nun jauh dari ibukota Jakarta, terbang ke daerah timur dan masuk lagi ke pedalaman Papua. Berada di garis terluar, berbatasan dengan negara tetangga, Papua Nugini.

Tepatnya di Desa Asiki, Kecamatan Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Mama Igai merasakan mulas amat sangat di perutnya. Panci yang ia pegang rasanya tak betah lagi berada di genggaman tangannya dan terlepas membanting ke lantai tanah dapur bivak-nya.

Demi mendengar suara panci terjatuh itu, Hawmere, keponakan kecilnya menyembul di pintu dapur. Dilihatnya Mama Igai sudah terduduk di lantai sambil memegang perut besarnya.

Panggilkan paman Dominggus, bilang Mama sudah mau melahirkan..”, pesan Agai ke keponakannya yang baru berumur delapan tahun itu.

Tak menunggu diperintah sampai dua kali, Hawmere bergegas melesat keluar dapur menuruni tebing menuju hutan kecil yang mereka garap menjadi ladang kecil untuk bertanam ubi dan sayuran.

Perut Igai serasa dipelintir-pelintir dengan rasa yang tak karuan lagi. Pandangannya mulai tak jelas lagi. Rasa mulas itu makin menjadi-jadi. Lamat-lamat, ia mendengar langkah empat kaki atau enam kaki atau delapan kaki. Ia tak mampu menghitung lagi. Yang pasti, langkah-langkah itu menuju ke arahnya dari dapur.

Rupanya teriakan Mawhere kepada Dominggus, juga terdengar oleh para tetangga mereka yang sedang berada di ladang. Sehingga berbondong-bondong pula mereka menuju bivak Dominggus.

Kondisi Igai sudah sangat lemah, dalam gendongan suaminya ia pasrah saja dibawa menuju rumah sakit yang ada di Kampung Asiki. Tak jauh memang, namun tak bisa pula dikatakan dekat. Karena mereka harus melewati beberapa ladang dan hutan baru sampai ke jalan tanah. Dari situ mereka masih harus berjalan kaki kurang lebih dua jam untuk sampai ke Rumah Sakit terdekat.

Setiba di jalan tanah yang lebar. Dominggus meredakan pegalnya di bahu. Berhenti sejenak di pinggir jalan. Sementara tetangganya masih setia mengiring di belakangnya membawakan kain dan pakaian milik mama Agai.

Mereka harus berjalan dua jam lagi. Dominggus tidak mempermasalahkan hal itu. Bahkan pun jika harus berjalan enam jam menuju ke rumah sakit dengan pelayanan lebih lengkap yang terletak cukup jauh pun, ia sanggup menggendong istrinya. Tapi apakah kandungan Igai akan mampu bertahan? Lebih-lebih lagi, apakah nyawa Igai masih ada?

Seusai melepas penat, mereka bersegera berjalan kembali menuju rumah sakit yang dimaksud. Bosporus, tetangganya menawarkan diri untuk gantian menggendong Igai. Tapi Dominggus menolak halus kebaikan tetangganya itu. Biarlah, ini adalah tanggung jawab dirinya, batin Dominggus.

Sekira seratus meter berjalan dari tempat istirahatnya, dari arah berlawanan tiba-tiba muncul mobil double gardan bertuliskan mobile services Klinik Asiki. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Mereka berhenti tepat di depan rombongan Dominggus. Sang sopir dikenal baik oleh warga Kampung Asiki, Immanuel. Dengan senyum ramahnya, Immanuel segera menyapa mereka.

Dua orang penumpang yang duduk di samping Immanuel – seorang perawat dan dokter, menghambur keluar dari dalam mobil menyongsong mama Igai. Tanpa banyak ba-bi-bu, rombongan Dominggus di suruh masuk ke dalam mobil dan segera berputar balik menuju Klinik Kesehatan Asiki.

Foto udara Klinik Asiki.

Tak habis sebatang kretek, mobil sudah masuk ke dalam parkiran Klinik Asiki yang memiliki luas 1.100 m2 itu. Mama Igai segera dibawa ke kamar persalinan. Peralatan telah disiapkan. Dan tepat tengah hari, tangisan anak kedua pasangan mama Igai dan Dominggus pun pecah di ruangan itu. Lahir dengan selamat.

Sebenarnya, baik perawat klinik Asiki maupun sang dokter, sudah gelisah dalam sepekan ini. Karena, sesuai dengan kartu monitoring yang mereka pegang, ada salah seorang warga Asiki yang sudah masuk masa “siaga satu”.

Sehingga, mereka dari pagi memutuskan untuk menjemput bola, mendatangi kediaman mama Igai. Ya, mama Igai sudah masuk dalam radar para petugas medis Klinik Asiki karena mereka rutin mengadakan kegiatan keliling desa untuk melakukan layanan kesehatan secara mobile. Baik kegiatan preventif, kuratif maupun promotif.

Tak hanya Desa Asiki saja yang masuk dalam daftar jelajah tim mobile service Klinik Asiki. Desa tetangga seperti Desa Kapoho, Desa Ujung Kia dan lainnya juga masuk ke dalam agenda rutin kunjungan.

Dalam menjalankan aksi kemanusiaan mereka, tim layanan kesehatan keliling Klinik Asiki yang berada di bawah naungan KORINDO GROUP bersama KOICA (Korea International Cooperation Agency) dan bekerjasama dengan Puskesmas setempat, memberikan berbagai bentuk pelayanan kesehatan seperti penyuluhan kesehatan; terutama ibu hamil, menyusui dan balita, kesehatan lansia, dan Keluarga Berencana, juga pemberian makanan tambahan (PMT) hingga penyediaan ambulance dan rujukan untuk membawa pasien ke rumah sakit dengan tingkat lebih tinggi.  

Klinik Kesehatan Asiki dilengkapi dengan fasilitas layanan kesehatan primer yang lengkap. Seperti pelayanan Poli Umum, Poli Gigi, Laboratorium, serta penyuluhan kesehatan dan perbaikan status gizi masyarakat.

Meningkatkan Kualitas Kesehatan di daerah Pedalaman

Warga desa Kapoho mengantar petugas medis ke klinik Asiki di Papua, seusai petugas medis ini memberikan perawatan medis keliling ke desa tetangga. 

Dengan kontur geografis yang didominasi wilayah hutan perawan nan lebat, dengan denyut kehidupan berpusar di ladang di tengah hutan dan sungai, seperti wilayah Asiki ini, niat mulia untuk meningkatkan kesehatan di daerah pedalaman tentu saja tidaklah mudah. Namun bukan berarti menjadi mustahil untuk diwujudkan.

Kendala utama tentu saja ada pada infrastruktur publik seperti jalan, kendaraan, dan lokasi masyarakat yang masih terpencar-pencar, meskipun masih berada dalam satu wilayah administratif.

Boven Digoel, jika disebutkan, kita akan teringat dengan kisah pembuangan salah satu tokoh proklamator kita Bung Hatta. Demi melihat peta, kita akan tahu, betapa jauhnya lokasi Boven Digoel ini. Jauuuh sekali. Bahkan menarik garis lurus di atas peta, dari Jakarta menuju Boven Digoel pun bisa memakan sekian sentimeter panjangnya.

Apalagi ia menjadi daerah terluar, yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua Nugini.

Adalah menjadi konsekuensi tersendiri – jika akhirnya, karena saking jauhnya, pertumbuhan infrastruktur pun menjadi lambat di sini. Yang pada akhirnya menyebabkan kebutuhan dasar masyarakatnya pun seperti pendidikan, kesehatan dan perbaikan taraf hidup pun menjadi terabaikan.

Meski demikian, konsekuensi tersebut tidak harus pula menjadi sebuah apologi para stakeholder untuk “Tidak berbuat apa-apa – karena memang demikian adanya, apatah lagi untuk berbuat lebih”. Tidak – jangan sampai terbersit pemikiran seperti itu. Karena sesungguhnya, kesehatan merupakan hak dasar yang paling asasi, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk mewujudkan kesehatan yang baik untuk semua. 

Kunci utama dalam peningkatan kesehatan, terutama di daerah pedalaman adalah preventif dan promotif. Kuncinya adalah jemput bola, jiwa kerelawanan, profesionalisme.

Delapan program prioritas Klinik Asiki

Urusan pertama adalah keterjangkauan. Bagaimana caranya, layanan kesehatan menjadi bisa diakses oleh masyarakat. Meningkatkan kesadaran warga di daerah pedalaman untuk datang ke pusat layanan kesehatan seperti Klinik Kesehatan Asiki ini, maupun lebih mendekatkan diri ke tengah masyarakat dengan sistem pelayanan keliling. Istilahnya jemput bola.

Bentuknya bisa berupa layanan pemeriksaan kesehatan, penyuluhan tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), penyuluhan kesehatan seperti penyampaian informasi tentang penyakit menular yang menjadi ancaman endemi di daerah tersebut, dan lebih lagi di era new normal ini akibat kemunculan penyakit Covid-19 yang disebabkan oleh virus Corona. Tentang pentingnya menerapkan protokol kesehatan mulai dari mencuci tangan, menjaga jarak dan pentingnya mengenakan masker.

Apa yang dilakukan oleh Klinik Kesehatan Asiki ini boleh kemudian menjadi percontohan bagi klinik kesehatan lainnya, bagaimana memberikan pelayanan kesehatan yang mumpuni bagi warga di pedalaman, terdepan dan terluar (3T).

Tak heran jika kemudian, secara berturut-turut, Klinik Kesehatan di bawah KORINDO Group ini diganjar penghargaan. Tahun 2017, meraih predikat Klinik Terbaik di tingkat Provinsi Papua versi BPJS Kesehatan. Lalu pada April 2018, sebagai salah satu lembaga pelayanan kesehatan primer Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Klinik Kesehatan Asiki secara eksklusif mendapat kehormatan untuk menghadiri Pertemuan Nasional FKTP BPJS Kesehatan di Jakarta.

Dan yang terbaru, Klinik Asiki kembali diberikan penghargaan tinggi sebagai FKTP dengan “Komitmen Tinggi dalam Memberikan Pelayanan Terbaik Bagi Anggota JKN-KIS Kategori Puskesmas” pada 15 Agustus 2019 lalu.

Wajar saja, meski berada di kawasan yang sangat sulit dijangkau, fasilitas yang disediakan oleh Klinik Asiki bukan kaleng-kaleng. Klinik yang didirikan pada September 2017 itu dilengkapi dengan fasilitas cukup wah meski berada di pedalaman, seperti ruang rawat jalan, rawat inap, ruang bersalin, perawatan bayi/perinatalogi, IGD, ruang bedah minor, USG, farmasi dan lainnya.

----------------------------------

*) Nama-nama dalam dua cerita pembuka adalah ilustratif, untuk menggambarkan perbedaan antara akses fasilitas dan layanan kesehatan di kota dan di daerah pedalaman seperti di Papua.

Pakdezaki . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates