Selasa, 19 Januari 2021

Kondisi pascabanjir bandang di Kampung Gunung Mas Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (19/1/2021)
(FOTO:TEMPO)

Indonesia lagi dirundung duka. Berbagai musibah tengah menerpa Tanah Air di awal tahun 2021 ini. Mulai dari pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh ke laut, gempa bumi di Mamuju dan Majene serta banjir bandang dan tanah longor di Banjarmasin, Manado, Bogor hingga Pidie Aceh.

Semoga para korban dan penyintas bencana diberi ketabahan dan kekuatan dalam menghadapi bencana tersebut.

Dari sekian kali kita mengalami musibah, ada satu hal yang menggelitik saya pribadi. 

Sudah siapkah kita sebagai bangsa dan sebagai individu masyarakat dalam menghadapi bencana alam ini?

Soalnya, jika melihat arus pemberitaan, kita akan selalu disibukkan dengan jumlah korban, besarnya jumlah korban jiwa, kerusakan fisik, kerugian materi dan non materi yang mencapai ratusan juta rupiah.

Tidak bisakah kita meminimalisir jumlah korban?    

Belum lagi saat ini, pemberitaan justru menangkap momen saat masyarakat penyintas bencana mulai kalap. Mereka menghadap truk pembawa bahan makanan. Menyerbu posko penyedia bantuan. 

Tangkapan layar Tribunnews

Ada lagi yang memberitakan, bahwa untuk sekedar mendapatkan bantuan saja, mereka harus menunjukkan copy Kartu Keluarga. Padahal dalam kondisi yang sangat jauh dari normal tersebut, sangat tidak mungkin untuk memiliki berkas administrasi melekat ke badan. 

Kondisi ini tentu saja sangat menyesakkan. Sebagai bangsa besar, urusan kebencanaan seperti memutar kaset lama saja. Dengan penyelesaian yang sama dan kondisi korban yang sama.

Saya menangkap bahwa, urusan kebencanaan - dalam hal ini mitigasi bencana, hanya menjadi wilayah eksklusif para relawan, tenaga kemanusiaan, PMI, TNI, Basarnas ataupun PNPB saja.

Sementara dari sisi masyarakat, nyaris nol sama sekali pengetahuan tentang cara selamat dari bencana. Tentang bagaimana menyelamatkan dari pada detik pertama. Bertahan hidup dalam 24 jam pertama. Hingga bagaimana menetralisir trauma secara mandiri. 

Jika hanya mengandalkan belajar dari pengalaman, maka laju pembelajaran akan berlangsung sangat lama. Proses belajarnya hanya terjadi saat bencana saja, dan jika itupun selamat dari musibah. Ibarat seperti kekebalan komunitas - herd immunity. Dibiarkan mengalami sendiri, bertahan dan mengambil pelajaran juga sendiri.

Sudah semestinya, pembelajaran tentang mitigasi kebencanaan ini menjadi pengetahuan kita bersama. Mulai dari anak-anak sekolah sampai ibu-ibu yang senantiasa berada di dapur.

Sehingga jumlah korban bisa diminimalisir, hubungan dengan alam bisa kembali harmonis, dan mereka tahu apa yang harus dilakukan dalam detik-detik krusial saat bencana pertama kali datang. Tidak seterusnya bergantung kepada relawan kemanusiaan, menunggu arahan petugas resmi atau bantuan pemerintah yang kadangkala tak secepat harapan para korban bencana. 

Tabik!  

Pakdezaki . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates