Rabu, 14 Desember 2016


Seperti biasa, di awal pekan Selasa (13/12/2016) saya sudah berada di Perpustakaan Daerah milik pemprov ini. Ya, setiap Senin atau Selasa, saya senantiasa menyambangi ruang baca yang ada di sini. Suasananya yang nyaman, senyap dan bersih memberikan saya surga yang sebenarnya untuk mencari referensi tulisan, baca-baca koleksi buku hingga 'menumpang' bekerja di sini.


Tak ada larangan. Semua boleh di sini. Selama untuk memperkaya literasi dan tidak membuat keributan, pihak Perpustakaan tentu senang-senang saja jika masyarakat umum menjadi betah berlama-lama berkunjung di dalam ruang bacanya.

Oya, sebelumnya perkenalkan saya Pakde Zaki. Seorang blogger, pekerja daring dan hingga saat ini tidak mempunyai kantor tetap. Jadi bebas hinggap di mana saja. Mau di mal, di kantor teman, di perpustakaan atau di parkiran sekalipun karena ada mifi Andromax M2S dari Smartfren yang menjadi andalan.

Pekerjaan saya full time online. Jadi editor di beberapa portal online, menulis lepas di beberapa situs ataupun blog sendiri hingga freelance ilustrator di surat kabar lokal. So, saya menikmati semuanya karena bisa bekerja dari mana saja.

Lihatlah bedanya sekarang, makin asyik dan terlihat modern karena ada laptop di tiap meja.

Sehingga saat tahu kini Perpustakaan Daerah sudah sedemikian asyiknya, maka sejak dua bulan terakhir, saya makin rajin mendatanginya.

Banyak judul buku yang sudah saya baca. Random. Saya baca buku apa saja. Mulai dari pemikiran hingga fiksi. Biografi hingga sejarah perang pun sudah saya lahap.

Overa van Gontor

Nah, dalam kesempatan kali ini, saya ingin berbagi bacaan. Judulnya cukup unik, Opera van Gontor - Novel Kronik Pesantren karangan Amroeh Adiwijaya.


Mulanya saya kira, ini semacam karangan humor yang judulnya plesetan dari salah satu mata acara lawak yang terkenal di salah satu televisi swasta nasional. Namun ternyata bukan.

Isi buku ini, bercerita tentang pengalaman sang penulis yang mondok selama enam tahun di Pondok Modern Gontor. Jika sudah berkisah tentang cerita pribadi, ini sangat menggelitik untuk membacanya lebih lanjut, apalagi dengan latar belakang pesatren.

Pondok Pesantren bukanlah hal yang asing bagi sebagian orang, termasuk saya. Meskipun tidak pernah menyandang status santri secara penuh, namun semasa kuliah dulu, saat bergabung dalam organisasi keislaman di kampus, saya beberapa kali mengikuti pembinaan dan mabit di Pondok Pesantren Raudhatul Ulum, Sakatiga Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan yang dekat dengan Kampus Inderalaya, Universitas Sriwijaya.

Apalagi beberapa waktu lalu, ada trilogi buku karangan Ahmad Fuadi yang bercerita tentang serunya kehidupan pesantren. Dimulai dari Negeri 5 Menara (2009), lalu Ranah 3 Warna (2011) dan ditutup dengan Rantau 1 Muara (2013), yang semakin menampakkan gurat kehidupan pesantren yang membuat penasaran. Utamanya bagi saya pribadi.


Novel Kronik Pesantren

Meski dilabeli sebagai novel, namun sepenuhnya buku ini memposisikan diri sebagai 'juru bicara' penulis dan lebih kena jika diklasifikasikan sebagai auto-biografi. Karena jarang sekali ditemukan dialog di dalamnya, lebih banyak ungkapan pemikiran sang penulis yang mengomentari pengalaman yang dirasakan saat itu.

Meski demikian, buku ini wajib ada demi memberikan pembelaan subyektif tentang bagaimana sebenarnya kehidupan di dalam pesantren, setidaknya dari kacamata penulisnya.

Bagian pertama bernama Kejora, langsung menyapa pembaca dengan kisah awal sang Amroeh kecil masuk mendaftar menjadi santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo. Di sini saya baru ngeh jika Gontor itu adalah nama sebuah desa di Ponorogo. Meski mempunyai nama sendiri, Ponpes ini disebut begitu saja sebagai Pondok Gontor, dan nama inilah yang lebih dikenal oleh masyarakat.

Beberapa kronik sejarah yang sering saya baca dalam sejarah, berkelindan dengan pengalaman penulis, sehingga menambah wawasan secara pribadi. Mengingat latar tahun novel ini antara 1969 hingga 1975. Cukup baik untuk dijadikan sebagai salah satu referensi pengetahuan sejarah.

Seperti tentang kota Madiun yang dulu pernah menjadi basis pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Muso pada 18 September 1948, yang ternyata berada di salah satu ujung. Gontor di satu sisi dan Madiun di ujung lainnya. Sementara Ponorogo berada di pertengahannya. Jarak antara Madiun ke Gontor itu sekitar empat puluhan kilometer saja.


Penulis mengaku cukup bergidik membayangkan, bagaimana suasana Ponorogo dan Gontor kala itu, saat PKI yang merasa punya kekuatan massa cukup kuat mencoba melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah.

Ah, sungguh, buku ini begitu menawan. Sehingga, tak ingin rasanya berhenti begitu saja untuk sekedar jeda, menuliskan apa yang menarik. Bahasanya mengalir sekali.

Silih berganti kisah-kisah 'ajaib' khas anak pesantren dituangkan di sini. Seperti kisah kepanikan anak-anak santri yang berubah menjadi 'buas' saat memburu anjing yang tersesat ke dalam lingkungan pondok. Penulis merasa sedih, saat anjing itu terpojok di antara tembok  dan harus mengakhiri hidupnya 'dihukum' rajam oleh hujanan batu dan kayu (halaman 140).


Hingga peristiwa-peristiwa luar pondok yang masuk dan menjadi santapan bersama di kalangan santri, yang disiarkan melalui radio ataupun disampaikan oleh para ustadz pengajar. Seperti peristiwa Perang Vietnam dan Peristiwa Malari (Halaman 163).

Buku ini membuka mata bagi yang membacanya. Membantu memberikan pemahaman tentang bagaimana peri kehidupan yang sebenarnya di dalam dinding sebuah pondok pesantren.

Buku Opera van Gontor ini terbitan tahun 2010. Dan tentu saja cukup sulit untuk mendapatkannya di toko-toko buku terkemuka. Kamu mungkin masih bisa menemukannya sebagai koleksi di perpustakaan daerah di tempat tinggal kamu.

Konklusi

Lihat, buku apapun yang engkau ambil di perpustakaan akan menambah khasanah pengetahuan. Buku yang terkesan menceritakan pengalaman pribadi saja - yang jauh dari embel-embel ilmiah ataupun judul sok akademis, buku ini justru banyak memberikan wawasan baru.

Apalagi  jika pengetahuan yang didapat dari buku ini dijadikan trigger untuk mendalaminya melalui informasi yang lebih luas di internet. Maka akan semakin terbuka lebarlah jendela informasi di tangan kamu. Jadi, tepatlah jika dibilang buku dan internet adalah jendela informasi masa depan.

Makanya, yuk datang dan akrabi kembali perpustakaan di kota kamu. Karena buku adalah jendela dunia. Perpustakaan adalah pintu dan teknologi adalah atapnya. Salam! (*) 

4 komentar

Selamat Siang,
saya sudah membaca blog anda, sangat mudah di pahami dan saya sangat tertarik untuk bekerja sama dengan anda, kami dari Forexmart menawarkan kerja sama affiliasi yang sangat menguntungkan untuk anda, jika anda berminat dan tertarik dengan penawaran ini bisa menghubungi email saya di www.forexmart.com dan saya akan memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai penawaran kerjasama ini.
Terima Kasih dan salam sukses untuk anda

REPLY

Halo,
Perkenalkan, Nama saya Wenny
Saya adalah development dari ForexMart, Kami melihat website anda dan kami ingin mendiskusikan kerjasama kemitraan dengan Anda. 
Boleh saya minta kontaknya untuk menjelaskan lebih lanjut atau anda bisa langsung menghubungi saya ke wenny@forexmart.com, terimakasih

REPLY

Pakdezaki . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates