Kotak Rezeki
AMIR seorang freelance – sebut saja begitu, dalam kurun waktu enam bulan terakhir, ia mencatat, penghasilannya berada di angka rata-rata Rp6 juta/sebulan. Menariknya, jika ditulis di atas kertas, palingan ia hanya akan menerima Rp3 juta saja per bulannya dari honor reguler.
Lalu dari mana asal yang separuh lagi? Rupanya, soal rezeki memang selalu ajaib.
Mari coba kita urai, penghasilan Amir tadi.
Di bulan pertama, ia mendapatkan honor Rp6 juta lebih dari sebuah penerbitan. Di luar honor reguler yang ia terima. Sehingga Amir bisa mengamankan penghasilannya selama dua bulan ke depan.
Bulan kedua, tak terlalu banyak pemasukan. Ia masih bertahan dengan honor bulan kemarin, ditambah honor reguler bulan berjalan.
Masuk bulan ketiga, rupanya ia menang sebuah perlombaan penulisan sebesar Rp2 juta. Lalu, ia juga diminta menjadi penulis tamu di dua website berbeda, dan mendapat pembayaran Rp1 juta. Total pendapatan tambahannya Rp3 juta.
Ia pun memberikan uang untuk mertua dan orangtuanya, masing-masing Rp500 ribu.
Bulan keempat, tetiba kawan lamanya yang bekerja di perusahaan migas menelpon. Minta dibuatkan desain safety poster sebanyak 6 buah. Tanpa mengajukan penawaran, ia dibayar Rp2,5 juta oleh kawannya itu.
Ditambah dengan fee sebagai penulis tamu yang masih berjalan dan honor reguler, maka total di bulan keempat itu ia menerima Rp6,5 juta.
Ia pun membeli beberapa peralatan untuk pekerjaannya.
Bulan kelima dan keenam sama saja.
Selalu “ada saja jalannya”, yang menjadikan total penghasilan per bulannya berada di angka Rp6 jutaan sebulannya. Entah dari lomba, order jasa yang datang tiba-tiba dan sebagainya.
Apakah anda juga pernah merasakan hal yang sama?
Kotak Rezeki
Konsep inilah yang telah saya amati cukup lama dan saya menyebutnya sebagai kotak rezeki. Setiap mahluk yang diciptakan oleh Tuhan, telah membawa kotak rezeki masing-masing. Dalam bahasa Al Quran, setiap mahluk telah dijamin rezekinya oleh Allah Swt.
Seperti yang disebut oleh ayat yang bagus sekali ini, “… dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan dijamin Allah rezekinya.” (QS Hud : 6).
Hingga hewan kecil yang melata di dasar lautan dalam saja pun telah dijamin oleh Allah Swt, apalagi manusia yang dibekali dengan akal; daya cipta, rasa dan karsa. Tentu saja, kotak rezekinya akan lebih besar daripada ukuran kotak rezeki mahluk laut tadi.
Rezeki, menjadi hal yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Terutama bagi para kepala keluarga yang memiliki tanggungan hidup. Tak heran jika kemudian kajian apapun tentang rezeki, akan memancing keingintahuan banyak orang.
Saya meyakini, setiap orang sudah mempunyai kotak rezekinya masing-masing. Lengkap dengan size kotak rezeki yang sudah pas. Mau bagaimanapun, karena kotak rezekinya segitu, maka jumlahnya pun akan sama diterimanya dalam kurun waktu yang tertentu.
Baik bagi pegawai negeri atau orang gajian, maupun dengan orang non-gajian, pekerja serabutan, pekerja lepas atau pekerja profesional mandiri.
Kita kerap menyebutnya, dengan sebutan “Ada saja jalannya”, atau “Rezeki tidak akan tertukar” atau jika belum mendapatkannya, akan muncul ungkapan “Belum rezekinya”. Begitulah.
Dan ungkapan ini, tentu saja tidak lahir begitu saja. Usianya bisa saja lebih tua dari kita malahan. Ia merupakan ungkapan yang lahir dari pemikiran dan kebijakan pandangan orang-orang tua kita yang tentu saja dituntun dengan keyakinan beragama mereka.
Di luar semua itu, konsep kotak rezeki ini bukannya tanpa ujian.
Kita tetap harus mewaspadai bentuk “rezeki” yang sejatinya bukan milik kita namun akhirnya kita makan. Orang memberi uang, karena jabatan yang kita punya, namanya gratifikasi. Orang berterima kasih karena dimudahkan urusannya, lalu menjulurkan amplop itu membudayakan budaya “salam tempel”. Membuat tarif atas pekerjaan administrasi di kantor di luar aturan, ‘Awas itu pungli!’.
Bisa jadi ada orang yang datang kepada kita dengan membawa proyek bancakan bernilai ratusan juta, dengan syarat dan ketentuan kolusi yang berlaku. Waspadai godaan kongkalikong.
Dan semuanya tidak halal untuk masuk ke perut. Lebih-lebih menyebutnya sebagai rezeki. Ah, kamu tega Rangga..
Di sinilah, kita juga harus meyakini, jika kita menolak sejumlah rezeki – yang kelihatannya datang kepada kita, namun sejatinya bukan hak kita, maka, Allah Swt akan menggantinya dengan rezeki yang sama lewat jalur yang halal. Yakin sajalah..
Seperti pesan sebuah plank di pinggir jalan, “Hasil Korupsi bukanlah Rezeki untuk anak dan isteri di rumah!”
Bersabarlah, insya allah, rezeki tetap akan milik kita. Dan melalui jalan yang lebih baik. “Dan kepunyaan Allah kepemilikan segala yang ada di langit dan yang ada di bumi, dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan” (QS Ali Imran : 109).
Tabik! (*)
Lalu dari mana asal yang separuh lagi? Rupanya, soal rezeki memang selalu ajaib.
Mari coba kita urai, penghasilan Amir tadi.
Di bulan pertama, ia mendapatkan honor Rp6 juta lebih dari sebuah penerbitan. Di luar honor reguler yang ia terima. Sehingga Amir bisa mengamankan penghasilannya selama dua bulan ke depan.
Bulan kedua, tak terlalu banyak pemasukan. Ia masih bertahan dengan honor bulan kemarin, ditambah honor reguler bulan berjalan.
Masuk bulan ketiga, rupanya ia menang sebuah perlombaan penulisan sebesar Rp2 juta. Lalu, ia juga diminta menjadi penulis tamu di dua website berbeda, dan mendapat pembayaran Rp1 juta. Total pendapatan tambahannya Rp3 juta.
Ia pun memberikan uang untuk mertua dan orangtuanya, masing-masing Rp500 ribu.
Bulan keempat, tetiba kawan lamanya yang bekerja di perusahaan migas menelpon. Minta dibuatkan desain safety poster sebanyak 6 buah. Tanpa mengajukan penawaran, ia dibayar Rp2,5 juta oleh kawannya itu.
Ditambah dengan fee sebagai penulis tamu yang masih berjalan dan honor reguler, maka total di bulan keempat itu ia menerima Rp6,5 juta.
Ia pun membeli beberapa peralatan untuk pekerjaannya.
Bulan kelima dan keenam sama saja.
Selalu “ada saja jalannya”, yang menjadikan total penghasilan per bulannya berada di angka Rp6 jutaan sebulannya. Entah dari lomba, order jasa yang datang tiba-tiba dan sebagainya.
Apakah anda juga pernah merasakan hal yang sama?
Kotak Rezeki
Konsep inilah yang telah saya amati cukup lama dan saya menyebutnya sebagai kotak rezeki. Setiap mahluk yang diciptakan oleh Tuhan, telah membawa kotak rezeki masing-masing. Dalam bahasa Al Quran, setiap mahluk telah dijamin rezekinya oleh Allah Swt.
Seperti yang disebut oleh ayat yang bagus sekali ini, “… dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan dijamin Allah rezekinya.” (QS Hud : 6).
Hingga hewan kecil yang melata di dasar lautan dalam saja pun telah dijamin oleh Allah Swt, apalagi manusia yang dibekali dengan akal; daya cipta, rasa dan karsa. Tentu saja, kotak rezekinya akan lebih besar daripada ukuran kotak rezeki mahluk laut tadi.
Rezeki, menjadi hal yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Terutama bagi para kepala keluarga yang memiliki tanggungan hidup. Tak heran jika kemudian kajian apapun tentang rezeki, akan memancing keingintahuan banyak orang.
Saya meyakini, setiap orang sudah mempunyai kotak rezekinya masing-masing. Lengkap dengan size kotak rezeki yang sudah pas. Mau bagaimanapun, karena kotak rezekinya segitu, maka jumlahnya pun akan sama diterimanya dalam kurun waktu yang tertentu.
Baik bagi pegawai negeri atau orang gajian, maupun dengan orang non-gajian, pekerja serabutan, pekerja lepas atau pekerja profesional mandiri.
Kita kerap menyebutnya, dengan sebutan “Ada saja jalannya”, atau “Rezeki tidak akan tertukar” atau jika belum mendapatkannya, akan muncul ungkapan “Belum rezekinya”. Begitulah.
Dan ungkapan ini, tentu saja tidak lahir begitu saja. Usianya bisa saja lebih tua dari kita malahan. Ia merupakan ungkapan yang lahir dari pemikiran dan kebijakan pandangan orang-orang tua kita yang tentu saja dituntun dengan keyakinan beragama mereka.
Di luar semua itu, konsep kotak rezeki ini bukannya tanpa ujian.
Kita tetap harus mewaspadai bentuk “rezeki” yang sejatinya bukan milik kita namun akhirnya kita makan. Orang memberi uang, karena jabatan yang kita punya, namanya gratifikasi. Orang berterima kasih karena dimudahkan urusannya, lalu menjulurkan amplop itu membudayakan budaya “salam tempel”. Membuat tarif atas pekerjaan administrasi di kantor di luar aturan, ‘Awas itu pungli!’.
Bisa jadi ada orang yang datang kepada kita dengan membawa proyek bancakan bernilai ratusan juta, dengan syarat dan ketentuan kolusi yang berlaku. Waspadai godaan kongkalikong.
Dan semuanya tidak halal untuk masuk ke perut. Lebih-lebih menyebutnya sebagai rezeki. Ah, kamu tega Rangga..
Di sinilah, kita juga harus meyakini, jika kita menolak sejumlah rezeki – yang kelihatannya datang kepada kita, namun sejatinya bukan hak kita, maka, Allah Swt akan menggantinya dengan rezeki yang sama lewat jalur yang halal. Yakin sajalah..
Seperti pesan sebuah plank di pinggir jalan, “Hasil Korupsi bukanlah Rezeki untuk anak dan isteri di rumah!”
Bersabarlah, insya allah, rezeki tetap akan milik kita. Dan melalui jalan yang lebih baik. “Dan kepunyaan Allah kepemilikan segala yang ada di langit dan yang ada di bumi, dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan” (QS Ali Imran : 109).
Tabik! (*)