Hari ini (6/12/2018), tepat 4 hari Muhammad Fathir Maulana berkhitan. Senyumnya sudah mekar dan kembali ceriwis bercuit, meski masih belum sembuh benar dan tetap menolak untuk memakai sarung.. 😀


Luka bekas khitan sudah mengering, beberapa bagian juga mulai mengelupas, masih menyisakan gumpalan hitam yang lengket di bawah kemaluannya. Mungkin darah kering atau apalah. Sampai tulisan ini dibuat, saya masih belum berhasil membujuknya untuk menyapuhnya dengan air hangat kuku agar segera lepas. Padahal tangan ini sudah greget sangat. 🙂

Senin (3/12/2018), Fathir dikhitan. Sekolahnya belum libur panjang tengah tahun sebenarnya. Tetapi, berhubung sudah ujian semester dan kelasnya dipakai oleh para kakak kelasnya ujian, maka seluruh Kelas 1 diliburkan selama seminggu. Maka kami pun mempercepat agenda khitannya, yang semula rencananya akan digelar pada libur panjang.

Fathir berkhitan atas keinginan sendiri dan tanpa paksaan sama sekali. Hanya hadiah berupa action figure Optimus Prime ukuran jumbo dan kotak pensil Ironman, yang membuatnya tambah menggebu-gebu ingin segera dikhitan.

Malah sehari sebelum dikhitan, ia bilang begini. “Athir dak sabaran lagi, malam ini be disunatnyo Bi..,” celotehnya polos.

Hihi.. ada-ada aja.

Sebenarnya, motivasi utama Fathir mau disunat, karena ingin jadi imam shalat. Karena, dia bosan jadi makmum terus. Ia tampaknya ingin sekali mengimami Umi dan Ayuk Siti. Tapi, Uminya selalu bilang, “Wong belum besunat, dak boleh jadi imam..”

Jadilah itu menjadi motivasi kuatnya. Walaupun, sejauh ini baru surat Al Fatihah dan Al Ikhlas saja yang ia hafal.

Senin (3/12), pukul 9 pagi, D-Day pun tiba. Mantri Hasani Rai bersama seorang asisten datang ke rumah. Sedikit basi-basi sepanjang setengah batang kretek, prosesi pemotongan kulup pun dimulai.

Fathir begitu riang. Ia sendiri yang langsung ambil posisi terlentang di atas kasur. Mantri sempat menyapa sebentar bujang kami, dan ia pun langsung bekerja.

Njus-njus..

Dua suntikan penenang lokal mendarat di bawah kulit atas dan bawah. Fahthir meringis menahan sakit. Sepanjang operasi sirkumsisi, cuma erangan yang sesekali keluar dari mulutnya. Sambil terengah-engah menahan kemaluan yang rasanya seperti “dikuliti”.

Sempat ditenangkan oleh shalawat Abi dan mbah Ti di atas kepalanya. Sedang Uminya mengambil video momen bersejarah tersebut.

Tak lama, efek bius tampaknya sudah bekerja. Fathir tidak merasakan sakit yang berarti. Malah penasaran ingin melihat secara live proses khitan dirinya sendiri.

“Apo sudah dijahit Bi?” tanyanya.

Belum sempat saya menjawab, sang mantri langsung menyambar, “Emangnyo pakaian, nak dijahit,” senyum mantri bermaksud menggoda.

Saya menelan ludah dan tetap mengumbar senyum. Secara tidak terbiasa berbohong dengan anak. Kalo memang sakit ya bilang sakit, kalo memang luka ya bilang luka. Yang penting tidak menakuti, apalagi sampai melebih-lebihkan.

Tak jauh dari TKP, dua orang sepupunya, Arle dan Zaki, ikut menyaksikan momen tersebut dengan air muka meringis-ringis ngerih. Emang dasar anak kecil ya, padahal sudah diusir, masih saja hinggap dekat Pak Mantri yang sedang bekerja..

****

Setelah beres, Saya menghembuskan nafas panjang. Rasanya lega sekali, selesai mengkhitan anak bujang. Satu fase berharga kehidupannya terlewati.

Saya juga bangga, walaupun usianya belum genap menginjak tujuh tahun, nyatanya ia kuat sekali. Tidak menangis saat dikhitan. Usaha para sepupunya yang berusaha menakut-nakuti sejak sore kemarin hingga pagi tadi, tampaknya gagal total. Dan Saya pun tersenyum, rasanya mewakili suatu kemenangan kecil..

Bujangku sudah berkhitan! Ia siap menjadi imam.. (*)