Sabtu, 17 Oktober 2020

Di saat sebagian dari kamu rebahan. Banyak relawan yang meminggir dari keramaian menyusuri jalan berliku, menurun, licin dan becek. Jika kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana-mana. Maka kerelawanan adalah transaksi kebaikan yang tidak ada kembaliannya.

Kakek Suhar, salah satu 'mantan' tetangga yang aku kunjungi.

Siang itu, jelang sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan 1441 H atau bertepatan dengan bulan Mei 2020. Bulan-bulan pertama pandemi Corona melanda tanah air. Sebuah motor matik membelah keramaian jalanan kota, menuju daerah pinggiran. Tepatnya daerah Tenggara Kota Palembang berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan.

Di dek depan motor matik sejumlah paket bungkusan sembako yang terdiri dari bermacam-macam bahan pangan. Seperti susu, gandum, minyak sayur, mie instan, kecap hingga sarden. Sementara di bagian belakang jok, terikat tumpukan karung beras masing-masing seberat lima kilogram.

Pria itu berjuang menahan keseimbangan sepeda motornya, menempuh belasan kilometer kala melewati tanah yang becek berlumpur dalam, hanya demi mengunjungi para ‘mantan’. Dahaga terasa menjerat tenggorokan. Haus sekali, karena cuaca siang itu cukup panas. 

Di kejauhan tampak menggantung awan hitam. Semburat kekhawatiran sempat muncul di benaknya. Mudah-mudahan tidak terlambat. 

Ya, pria itu adalah aku, dan para ‘mantan' itu tetanggaku. Saat itu aku bertindak menjadi kurir kebaikan untuk para tetanggaku yang jauh sebelum masa pandemipun, mereka berada dalam lilitan kemiskinan dan kesulitan hidup.

Aku sempat tinggal di lingkungan tersebut sejak tahun 2007 dan pindah ke daerah Simpang Dogan, Sako, Palembang pada tahun 2018. Cukup lama ya, sekitar sebelas tahun. Wajar, jika aku bisa mengenal betul mereka. Ada yang bekerja serabutan kuli bangunan seperti Pak Sukadi, penjual jajanan anak keliling seperti Pak Erlan dan menantunya Siswanto.

Ada juga nenek Kartina yang mengajar mengaji anak-anak dan suaminya kakek Suhar petani penggarap yang memanfaatkan lahan di ujung perumahan untuk ditanami aneka sayuran dan singkong.

Mereka inilah yang aku prioritaskan mendapatkan bantuan. Sedikit paket kepedulian, mampu memberi arti bagi mereka. Bahwa mereka tidaklah sendiri. Masih banyak orang-orang dermawan yang ikhlas berbagi.

Beginilah kondisi rumah Kakek Suhar saat aku survey

Keluarga Pak Erlan (dua dari kiri)


Kondisi rumah Pak Erlan, satu rumah disekat untuk ditinggali tiga KK.

Penyerahan bantuan untuk keluarga Mamak Damar

Kediaman keluarga Mamak Damar

Apalagi, di musim Corona seperti sekarang ini, sungguh berat hari-hari perjuangan para pekerja informal. Karena mereka inilah yang duluan merasakan dampak dari pandemi Covid-19. Mereka tak bisa berbuat apa-apa saat penghasilan mereka tergerus. Betapa terasa pahitnya hidup ini, saat pemasukan mulai memasuki fase nihil.

Sedikit tingkat di atas mereka, banyak yang mendadak dirumahkan karena proyek harus dihentikan karena adanya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar-red) seperti pekerja bangunan, pekerja kontrak sementara waktu, dan lainnya.

Tak hanya ‘pekerja garis depan’, di tingkat pemborong proyek pun banyak yang gigit kuku jari. Pasalnya, proyek-proyek yang mulai dikerjakan tahun 2019 dan seharusnya mendapat bayaran di medio 2020, akhirnya gigit jari. Karena ketatnya penghematan dan refocusing anggaran di level pemerintahan.

Aku pun – yang bekerja di salah satu usaha percetakan dan penerbitan, ikut pula terkena imbas. Aku dirumahkan separoh waktu, yang otomatis penghasilan bulanan pun ikut terpangkas menjadi setengahnya saja. Bagaimana dengan mereka para 'mantan'? 

Sudah lama pikiran ini terus menggangguku. Harus ada yang bisa diperbuat.

Aku pun ‘mengintai’ adakah paket bantuan non-pemerintah dan non-partai politik yang bisa aku berikan untuk mereka. Berharap keberkahan dari sumber-sumber yang baik dan bebas kepentingan. Dan alhamdulillah ada!

Aku pun mengajukan diri untuk mendapatkan bantuan paket sembako dari sebuah lembaga kemanusiaan untuk diberikan kepada tetanggaku itu.

Benar kata orang bijak. Memberi bukan perkara kita akan mendapatkan balasan apa setelahnya. Tapi justru saat mengusahakan bantuan itu, saat memberikan bantuan, saat melihat senyum paling jujur merekah di bibirnya, saat ucapan terima kasih terasa tak begitu berarti apa-apa dibanding ekspresi paling hakiki. Di situlah momen kebahagiaan yang sesungguhnya.

Demi apa coba, aku jauh-jauh menempuh perjalanan berkilo-kilometer ke tempat tinggal ‘mantan’ tetangga. Apakah aku dapat uang transport? Tidak. Bensin pun aku beli sendiri. Apakah aku dapat bagian sembako? Juga tidak. Setelah mengantar paket-paket sembako ini, aku cenderung menjauh dari kawan-kawan kepanitiaan, sampai Idul Fitri terlampaui berminggu-minggu kemudian.

 Lalu untuk apa? Apakah untuk mendapat pengakuan kedermawan? Nope. Aku cuma mengambil peran menjadi kran kebaikan, mungkin juga cuma ‘potongan selang’ yang tersambung dari mulut kran yang menyalurkan bantuan kepada para kaum dhuafa. Ya, aku memilih menjadi relawan dengan kesadaran penuh.

Mencari percikan keberkahan dengan menjadi kurir bagi kebaikan orang lain. Kebaikan hati orang yang memberi. Dan menyampaikan kebaikan bagi penerimanya. Sama-sama baik.

Idealnya, kita bisa memberikan yang terbaik untuk orang lain. Pemberian paling utama, tentu saja harta yang bermanfaat bagi penghidupan orang lain. Yang dengannya, mereka bisa memenuhi kebutuhan paling dasar. Pangan. 

Namun jika pun belum mampu, menjadi relawan penghubung pun tidak mengapa.

Para kaum dermawan menitipkan donasi kepedulian mereka kepada lembaga kemanusiaan. Lalu, lembaga kemanusiaan tadi akan menghimpun donasi dari sejumlah dermawan, mendata mustahik yang ingin dibantu, lalu membuat program kemanusiaan – baik karitatif, maupun produktif, dan relawan pun dengan senang hati menjadi kurir kebaikan.

Ada bayaran non tunai yang diterima oleh para relawan. Kebahagiaan, kebersamaan, kepedulian dan kebermaknaan hidup. Inilah, rantai kebaikan di zaman now. (*)


Pakdezaki . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates