Menempati Rumah Baru
Alhamdulillah, hari ini per Senin (12/10/2020) adalah hari ke-5 kami sudah mendiami rumah baru. Meski seadanya, dan kondisi rumah belumlah sempurna, tapi rasanya bersyukur sekali.
Ya, rumah ini kami tepati pada hari Rabu (7/10/2020) lalu, setelah listrik sudah dipasang pada Selasa (6/10) siang. Cerita lengkap bisa dilihat di sini.
Semangat untuk mendiaminya terasa menggebu-gebu, padahal masih 60% rumah tersebut layak ditinggali.
Bagaimana tidak, semua kusen belum ada – apalah lagi daun pintu dan jendela. Dinding belum diplaster. Lantai masih semen kasar. Hanya bagian ruang kamar utama (yang rencananya akan digunakan untuk tempat usaha) yang baru disemen acian.
Sementara, ruang tengah, kamar Fathir dan dua kamar mandi masih semen kasar. Bahkan kamar ayuk Siti belum disemen, masih lantai tanah dan untuk sementara digunakan sebagai gudang.
Semua lobang pintu dan jendela belum mendapat kusen dan ditutup sementara dahulu dengan papan racok sisa bangunan, dan asal kamu tahu, kami menempati ruang kamar utama dengan pintu sederhana terbuat dari papan racok, sementara kamar ayuk Siti masih terbuka lebar – belum ada kusen dan penutup!
Kamar tidur Fathir dan Siti |
Semua yang dianggap berharga, masuk ke dalam kamar utama – tumpek blek bercampur dengan aneka barang yang belum sempat tersusun, kayak sayur gado-gado. Termasuk tabung gas dan sepeda motor!
Pokoknya, sedap-sedap ngeri lah..
Apalagi, rumah kami termasuk dingin – ekstra sueejuk, rek. Karena banyak loster lobang angin yang dipasang di teras dan dapur. Posisi rumah sendiri berada di pangkal lorong. Kata orang sih, disebut posisi tusuk sate. Anginnya kencang banget masuk dari depan langsung ke belakang. Kayak ditombak angin, makjleb!
Kamar ayuk Siti, belum disemen lantainya. Nggak apa-apa, orangnya juga lagi mondok :) |
Ditambah lagi, hujan turun cukup intensif sejak kami pindah
ke rumah baru. Hampir tiap pagi, turun gerimis. Sementara hujan deras – selama
kami tinggal, ada dua kali turun. Salah satunya badai, hujan angin.
Sampai-sampai, atap seng di bagian dapur tidak kuat bertumpu di bahumu
hingga jatuh melayang.
Meski suara sengnya rame banget, jelang kepergiannya. Namun, kami udah pasrah aja. Mana tinggi atapnya sekitar empat meter. Benar-benar jadi nggak niat banget untuk memperbaikinya malam itu. Lantai dapur pun basah. Karena air dengan riang masuk menyerbu dan menggenangi lantai dapur yang langsung bersambung ke ruang tamu itu.
Kamar Fathir, masih ala kadarnya. |
Bisa ditebak kan. Bagaimana rasanya tidur malam itu. Dingin banget. Kami bertiga pun tidur dempet-dempetan. Di atas tumpukan kasur di lantai. Karena dipannya (dan juga barang-barang bervolume besar) belum keangkut semua.
Brr..., serasa tidur di dalam tenda di puncak Gunung Dempo!