Jumat, 18 Desember 2020

Fathir saat usia 6 tahun (TK), memenangkan lomba pasang kaos kaki di sekolahnya.

Sihir kecanggihan gadget begitu memesona. Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun dibuat sedemikian terpana oleh benda berbentuk kotak pipih itu.  Berjam-jam orang dewasa tahan skroll layarnya yang rerata berukuran 5 inchi itu. Sementara, anak-anak pun tak kalah. Mereka berbilang menit lebih banyak dari orang dewasa, menyadap informasi bit demi bit melalui mata mereka yang masih belia. 

Video memikat, lagu yang riang, gambar dan game dengan grafis eye cathing, berhasil menyihir mereka untuk tidak beranjak berjam-jam, sementara ibu-bapaknya atau mbak pengasuh 'sangat bersyukur' karena bisa mengerjakan banyak hal lainnya. 

Begitulah gadget menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang kiwari. Termasuk para orangtua muda berstatus milenial, dengan aneka identitas sosial media di dalam memori ponsel mereka. 

Dan di situlah letak para kesalahan orangtua muda - utamanya saya dan istri dahulu, waktu membesarkan anak kedua kami Muhammad Fathir Maulana.

Kala itu, masih awal-awal penetrasi gadget berbentuk smartphone dan tablet. Saya, sebagai generasi milenial awal menjadi pemburu informasi pertama terkait perkembangan gadget ini. Dan beruntungnya, bisa memiliki beberapa dari sekian jenis gadget populer saat itu dari hasil mengikuti aneka perlombaan menulis blog.

Salah satunya mendapat tablet dari perusahaan cap apel hitam. :)

Demikianlah, tablet tersebut akhirnya menjadi eksperimen untuk mempelajari UI/UX dan tentu saja game-game serta video-video Youtube. Saat itu, masih sedikit konten-konten berbahasa Indonesia. Masih banyak diisi upload film-film lawas jaman bapake yang berbahasa Inggris dan Jepang.

Dan Fathir pun terpapar tanpa terkendali. Kami berdua seringkali memberikan tablet tersebut secara rutin dalam jam-jam tertentu. Saat kami butuh istirahat, atau butuh waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rutin rumah tangga.

Dan hingga Fathir berusia 5 tahun, kami seakan baru tersadar. Ada keanehan dalam tingkah laku Fathir. Fathir tak mampu mengucapkan banyak kata dalam aktvitas kesehariannya. Bahkan nama kami pun, Abi dan Ummi, tak ia sebut. Hanya ucapan Beh.. (Dan panggilan itu terbawa sampai di usianya yang sekarang menginjak 8 tahun - Sampai kami pun menerimanya dan menganggap saja ini panggilan spesial untuk kami).

Sebagai contoh, saat itu, jika ingin minum, ia tidak menangis. Anaknya sangat tenang, tidak temper. Ia akan turun dari tempat tidur dan menarik rok istri atau ujung celana saya dan menunjuk ke dispenser air galon yang berada di atas meja.

Lalu ia akan kembali ke tempat bermainnya dan melanjutkan kegiatan.

Untuk aktivitas lain, ia cenderung asyik bermain sendiri. Membongkar rak buku, menghamburkan mainan dari dalam kotak dan berjam-jam pula ia asyik sendiri. Sunyi tanpa ribut.

Sebagai orangtua tentu saja, kami berdua was-was. Sempat terlintas pikiran, jangan-jangan anak ini bisu? Ah, tentu saja jawabannya tidak. Jika ia bisu tentu, ia tidak akan menoleh jika dipanggil. Lagipula, ia juga bisa menangis keras saat terjatuh atau kala tangannya terjepit pintu lemari. 

Kekhawatiran kedua adalah, apakah ia cenderung mengidap autisme? Sepertinya juga tidak. Mata Fathir masih melakukan kontak saat saya ajak bercerita. Ia mendengarkan, meski tak banyak kata yang ia berikan sebagai respon komunikasi, kecuali beberapa kata yang nyaris tidak mempunyai makna sama sekali.

Akhirnya, dengan segala kondisinya kami pun sampai pada kesimpulan awal, anak ini terlambat bicara. Tidak sewajarnya di usianya sekarang, banyak kata tak jelas yang muncul dari komunikasinya.

Kami pun memeriksakan Fathir kepada Paman saya, disebutnya tidak ada yang salah. Dilihat dari lidahnya, tidak pendek. Normal-normal saja. Begitu juga dengan bentuk fisik. Tidak ada yang aneh.

Setelah mencari informasi ke sana-sini, kami pun sampai pada kesimpulan, mengapa Fathir sampai terlambat berbicara. Semua karena gadget! Fathir terpapar gadget yang menawarkan multi-bahasa.

Hal ini diperkuat juga dengan kasus yang menimpa anak Bude saya, yang kedua orangtuanya bekerja dan ia dititip-asuhkan kepada orangtuanya - yang sudah sepuh. Demi menjaga anaknya itu tidak mengganggu pekerjaan di rumah orangtua, selain disediakan pembantu dan pengasuh - untuk anak keduanya itu, mereka belikan televisi layar datar di dalam kamar dan disambungkan dengan layanan TV kabel.

Sehingga - harapannya, anaknya itu akan anteng. Dan memang anteng, sampai - seperti kami juga, sang anak pun mengalami keterlambatan bicara. Solusinya pun sama, akhirnya sang anak lebih sering diajak bermain dengan anak seusianya, dan intens berkomunikasi dengan ibunya yang seorang dosen. Sementara sang ayah bekerja di pulau Bangka, dan pulang seminggu sekali ke Palembang kadang pula dua minggu sekali. 

Penyebab Keterlambatan Bicara

Mengutip dari The Asian Parent, disebutkan jika keterlambatan bicara pada anak bisa disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, kurang latihan, lebih banyak bermain sendiri, terlalu pasif, terlalu banyak menonton televisi atau menggunakan dua atau lebih bahasa.

Duh, si Fathir hampir semuanya itu. Lebih banyak main sendiri - iya, terlalu banyak nonton televisi alias gadget - iya, terpapar dua bahasa atau lebih - iya. Malah lebih, bahasa ibunya, bahasa Indonesia di televisi serta bahasa Inggris dan Jepang dari tablet. Parah banget ya.. 

Ia tidak menyerap kosakata dari orang di sekitarnya. Karena ia lebih banyak menekuri layar tablet, daripada berkumpul bersama kami atau anak-anak tetangga saat ituAkibatnya, Ia lebih banyak terpapar kata-kata asing, namun tidak mampu mencerna bersamaan. Semacam gegar kebahasaan.  

Namun, masih dalam tulisan yang sama, jika anak masih bisa mengerti yang diucapkan kepadanya dan mampu berinteraksi baik dengan lingkungan sekitar, maka fase keterlambatan berbicara ini masih bisa ditoleransi. Deuh.. agak lega juga nemu bagian kalimat ini.

Karena, Fathir di usia itu sudah nyambung diajak berkomunikasi. Tidak ada masalah. Jadi, menurut tulisan itu, kemungkinan gangguan berbicaranya masih sebatas fungsional.

Yang mengkhawatirkan, jika terjadi gangguan non fungsional. Maka akan jauh lebih berat untuk menerapinya. Gangguan nonfungsional itu berupa gangguan yang cukup berat, dengan sederet tanda-tanda sejak berusia 3 bulan. Seperti tidak memberikan respon senyuman sosial di usia 10 minggu, atau tidak mengeluarkan suara hingga usia 3 bulan. 

Tanda-tanda lain juga yang harus mendapatkan perhatian dari orangtua adalah jika sampai usia 8 bulan, ia cenderung cuek terhadap sekitarnya. Atau hingga usia 20 bulan, tak banyak kata yang diucapkan. Peneliti menyebut angka kurang dari 3-4 kata. (Lihat Infografis di bawah)

Terlambat bicara pada anak

 

Tips Menerapi Anak Terlambat Bicara

Lalu apa yang bisa orangtua perbuat saat menemukan tanda-tanda seperti di atas? Jika sudah tahu penyebab dominan mengapa anak mengalami keterlambatan bicara, maka dari situ bisa kita mulai.

1. Kurangi konsumsi gadget. Jangankan anak kecil, orang dewasa pun bisa menjadi berubah kepribadiannya jika terlalu asyik dengan gadget.

2. Mulailah sering bermain bersama sang anak. Ajak bercakap-cakap tentang apa saja yang ia pegang, dan ikutkan juga emosi kita untuk tenggelam dalam permainan mereka. Jadilah teman bermain yang menyenangkan bagi sang anak.

3. Kolaborasi dengan seluruh penghuni rumah untuk ikut meningkatkan interaksi verbal dengan sang anak. Anak paling suka, menirukan bahasa sambil menggerakkan badan. Jika itu perlu, lakukan saja. 

4. Lepas-mainkan dengan anak-anak seusianya. Kalau bisa intens, setiap hari. Bermain adalah dunia anak-anak. Jika bosan di rumah, biarkan ia bermain dengan anak tetangga. Tetapi, tetap dalam pengawasan kita.

5. Mulai mengajarkan kata-kata sederhana yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. 

6. Berikan pujian dan pelukan saat ia berhasil mengucapkan satu kata dengan benar.

7. Berdoa kepada yang kuasa, agar diberikan kemudahan bagi sang anak untuk berbicara 


Tips Jitu : Lepaskan Anak Bermain Sepanjang Hari 

Kembali ke Fathir. Akhirnya setelah mencari informasi ke sana kemari dan berkonsultasi ke pihak yang berkompeten, kami berdua sepakat untuk membatasi gadget. Jam seharusnya untuk nonton gadget, dialihkan untuk main di luar rumah. Main dengan anak tetangga. 

Fathir (paling kiri) saat berusia 4 tahun, bersama anak-anak tetangga.

Kebetulan di sebelah rumah ada anak yang seumuran dengan kakaknya Nayla (8) dan Fathir (4) saat itu, Tiwi (7) dan Tia (5). 

Nah, anak bernama Tia inilah yang ceriwisnya minta ampun. Saking cerewetnya, ia seringkali kesal melihat respon bahasa Fathir yang ia sebut seperti bahasa planet, saat diajak bermain. 

"Apaan sih Fathir ini, ngomongnya nggak jelas, kayak bahasa planet..", tukas Tia saat Fathir menjawab sekenanya dengan bahasa sendiri, kala diajak berbicara.

Istri saya yang melihat dari jendela kamar, cuma bisa mengurut dada. Saya yang menerima laporan darinya, juga cuma mampu tersenyum kecut. Sambil saling menenangkan, biarlah ini menjadi bahan pembelajaran untuk Fathir.

Tapi dasar anak kecil, seusai kesal mereda mereka main lagi. Meskipun, dalam setiap permainan, Fathir biasa menjadi penggembira alias pemain figuran.

Jadi anak bawang*) memang seperti itu. Ikut mengejar anak-anak yang lebih dewasa darinya. Ia tidak protes. Bahkan ia senang-senang saja. Tertawa riang, meski tak paham apapun tentang aturan permainan. Yang penting ladas (gembira)!

Jika dilihat secara fisik, Fathir tidak ada masalah sebenarnya. Ia aktif. Meloncat sana-sini, mengejar ayam bahkan di saat yang sama ia sudah bisa naik sepeda mini roda dua.

Kami juga berupaya memasukkan beberapa kosakata ke dalam memorinya. Dengan mengupayakan bercerita setiap malam, membacakan buku dongeng sebelum tidur. 

Penutup

Perbaikan kosakata sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Meski saat masuk TK pun, kemampuan berbahasanya, masih 50% dibanding anak-anak seusianya. Kami pun berkoordinasi dengan guru-gurunya. Untuk meminta permakluman, serta bimbingan agak lebih demi mendongkrak kemampuan bahasanya. 

Perubahan drastis baru terasa saat ia masuk SD. Di akhir kelas satu, kemampuan berbicaranya naik hampir 90% dan kelas dua, hampir tak ada lagi kata-kata aneh dari mulutnya.  

Alhamdulillah, jujur harus diakui, proses perubahan yang paling drastis, adalah saat Fathir mulai dirutinkan main bersama anak tetangga yang cerewet tadi. Itulah sampai sekarang, Fathir menjadi yang paling nyenyes di rumah. Lebih cerewet dari kakaknya Nayla. Apapun yang tidak ia ketahui dan ia penasaran, maka ia akan mengejar kami dengan pertanyaan demi pertanyaan.

Bahkan saat ia tahu sesuatu, yang menurutnya kami tidak tahu, maka ia akan berceloteh kepada kami. Meskipun untuk itu, ia akan mengekor kami sambil mulutnya terus bercakap. Ke dapur, ke halaman rumah hingga ke dalam kamar.

Namun satu yang tersisa, dan masih diterapi saat ini, bicaranya cadel. Ia tidak bisa menyebut huruf 'r'. 

Begitulah, kami sekeluarga akhirnya sadar. Betapa bahayanya memberikan gadget kepada anak yang baru tumbuh. Gadget di sini bisa apa saja. Mulai dari smartphone, tablet, televisi hingga ke console game. 

Padahal, anak dalam periode golden age, seharusnya imbang pertumbuhan untuk seluruh aspeknya. Intelegensia, motorik halus dan kasar, fisik, psikis, sosial hingga ke spritiual. Dan tidak ada yang bisa menggantikan tugas orangtua untuk melakukannya.

Tidak oleh gadget, televisi kabel, bahkan kakek dan neneknya. Kita sebagai orangtualah yang bertanggung jawab penuh.

Demikian pengalaman kami dalam mendidik anak. Harapannya, teman-teman tidak 'menjebakkan' anak ke dalam pesona gadget, sehingga pertumbuhan anak-anak kita normal dan tidak terhambat. Semoga bermanfaat, ya Bun..  (*) 

Pakdezaki . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates