Rabu, 13 Januari 2021


Tahun 2020 telah menjauh.  

Tertinggal di belakang dan tersimpan sebagai kenangan. Pahit ataupun manis, itulah yang terjadi. Segala interaksi di dalamnya, akan dikekalkan sebagai catatan amal. Baik dan buruk, semuanya akan membuahkan konsekuensi.

Akhir tahun 2019 hingga setahun kemudian, pena sejarah mencatat tentang suramnya perekonomian dunia, porak-porandanya segala tatanan kehidupan. Era kenormalan baru pun belum membuahkan hasil. Anak-anak masih belajar di rumah, para pekerja sebagian diliburkan, sebagian melakukan kerja dari rumah. Sebagian yang lain, menjadi pengangguran setelah dirumahkan.

Frustasi, membenci keadaan, mengutuk nasib.

Namun sebagian yang lain, tetap bersabar. Memandang dengan kacamata positif, menyesapi makna dari setiap peristiwa, mengambil inspirasi dari alam, merenungkan kebesaran Sang Pencipta dan mulai bergerak mencari solusi untuk memperbaiki diri. 

Jika dunia tidak bisa diubah, maka kita bisa memulainya dari diri sendiri dan dari lingkungan kecil di sekitar kita.

Banyak yang bisa kita ubah dari diri kita. Mendewasakan sikap, menyehatkan mental, melunakkan ego dan lainnya.

Tahun 2020, mengajarkan banyak hal kepada kita. Tentang hidup dan kehidupan. Tentang adanya kuasa di luar diri kita. Tentang pengharapan kepada sang Pencipta. Tentang pentingnya memiliki dana tabungan. Tentang berbaik tingkah dengan tetangga. Tentang berbakti kepada orangtua dan sebagainya.

Begitupun dengan saya pribadi.

Ekonomi yang sempat limbung di awal-awal masa pandemi menjadi salah satu sebab saya menjadi seorang yang pemarah. Bukan sekedar gaji yang dipotong separuh, namun lebih karena besarnya hutang yang harus saya cicil tiap bulannya.

Saya pun menjadi seorang pemarah.

Marah kepada seorang teman (-akrab semasa kuliah), karena saya merasa dilecehkan saat bermaksud meminjam uang kepadanya.

Marah kepada dua orang 'tetangga jauh terpisah beberapa rumah/lorong' yang dengan semena-mena menanamkan pipa airnya tepat di sepanjang halaman rumah, tanpa permisi tanpa izin sama sekali.

Marah besar kepada sekuriti perusahaan listrik negara, karena uang saya -yang saya percayakan untuk mengurus penyambungan daya listrik baru - diduga digelapkan untuk bermain judi online. Dan uang sebesar Rp2,4 juta itu pun harus diikhlaskan tanpa bisa diharap dapat ditagih kembali.

Marah kepada sopir truk yang tiba-tiba begitu saja nyelonong ke halaman rumah - walau sudah dilintangkan kayu, tanpa permisi - memutar truk.

Marah kepada anak yang tidak mudah diomongkan, saat belajar daring di rumah.

Dan marah-marah lain yang membuat saya merenung di awal tahun 2021 ini. 

Ilustrasi orang merenung
Foto: wikipedia

Mengapa saya menjadi begitu pemarah? Ini bukan saya. Saya yang dikenal adalah pribadi pendiam, murah senyum dan suka membantu, tiba-tiba dengan mudahnya menaikkan level emosi ke tingkat paling puncak. Meskipun tidak sampai destruktif.

Mengapa saya menjadi pemarah?

Dari renungan panjang saya, timbul kesadaran dalam diri. Apa sebabnya saya mudah terpantik?

Dan inilah penyebabnya :

1. Jauh dari Yang Maha Kuasa

Meskipun tidak sampai melalaikan shalat lima waktu, namun saya akui bahwa doa-doa yang terpanjat menjadi sangat pamrih dan komersial. Hanya meminta rezeki yang banyak serta kesehatan bagi istri dan anak. 

Namun, lupa untuk mendekati-Nya. Lupa mengedepankan ahlak diri. Malas membaca Alquran, lalai menjaga hafalan, serta jarang berpuasa sunnah lagi. Saya akui itu.

2. Lupa Adab dengan Manusia

Marah kepada teman dan tetangga, saya lupa dengan adab. Padahal adab sangatlah penting. Bahkan disebut jika adab berada di atas ilmu. Beradablah sebelum berilmu - begitu nasihat ulama bijak.

Dengan teman semasa kuliah ini, memang saya belum pernah berurusan uang dengannya. Belum pula pernah satu perjalanan. Sehingga belumlah lulus persahabatan kami. Jika terkenang akan hal itu, malulah diri ini. Mengapa saya coba-coba meminjam uang dengannya? 

Dan mengapa pula saya harus marah, saat ia tidak bisa meminjamkan uang?

Ada satu hal yang sebenarnya membuat saya marah besar. Tapi tidak perlu saya utarakan di sini.

Yang pasti, saya lupa adab meminjam uang. Dan ia juga lupa adab dalam menghadapi seorang teman yang berada dalam kekurangan. Sama-sama lupa adab.

Dengan tetangga begitu juga. Kalau mereka tidak usah dibilang lagi, memang kurang adab. Hanya memang saya lebih mengedepankan emosi daripada bermain cantik dengan tetap beradab.

3. Sumbu Pendek

Yap, meskipun Pilpres 2019 sudah lama berlalu, namun saya merasa mudah sekali marah. Kata orang, mudah marah itu istilahnya sumbu pendek. Mudah meledak marah. 

Rasanya ringan saja meluapkan emosi. Terutama kepada mereka yang menurut saya tidak sesuai dengan keinginan. 

Tapi sebenarnya, bukan pula sembarang emosi sih. Kepada yang tidak ada salah dengan saya, ngapain juga saya marah-marah. Namun, ketika bertemu dengan sesuatu yang tidak sreg dengan hati, mudah sekali saya meluapkan amarah. (Tapi meski dalam keadaan marah, saya tidak pernah meluapkan ucapan kotor. Saya masih bisa mengontrol ucapan. Hanya meninggikan intonasi suara dan mengeraskan muka saja).

4. Terlalu Lama 'Menjadi Orang Baik'

Mungkin kamu sudah bisa menebak, mengapa amarah saya bisa lepas begitu saja - padahal saya selama ini berperilaku sebagai orang baik. 

Jawaban ini saya temukan dalam buku No More Mr Nice Guy karangan Dr Robert Glover. Bahwa ternyata memang ada orang yang secara tidak sadar terobsesi menjadi orang baik. Menjadi orang baik di mata orang lain, dan mengorbankan diri sendiri. 

Sampai pada satu sisi, memadamkan gelora di dalam diri, demi memenuhi ekspetasi dari lingkungan untuk mendapatkan predikat sebagai orang baik.

Di sinilah, saya seakan ingin membentuk momentum diri yang baru. Ingin mendapatkan kepenuhan diri dengan mampu menunjukkan emosi tanpa banyak tahanan lagi. 

5. Keinginan Menunjukkan Taring

Puncaknya adalah saat menggeruduk kediaman sekuriti PLN yang melarikan uang saya. Tidak main-main, tiga beranak seusai shalat Subuh langsung menggedor rumah yang bersangkutan. Ia kaget setengah mati.

Bagaimana tidak, setelah aksinya ketahuan, keberadaannya seolah lenyap ditelan oleh bumi. Didatangi siang, ia sudah menghilang. 

Maka hari itu, kami datangi pagi-pagi. Kami bentak, kami ancam dan aneka upaya lainnya yang bisa dilakukan. Emosi saya benar-benar tumpah. 

Dan meskipun sudah didatangi pagi hari, kami tunggui sampai siang. Lalu pulang, dan malam kami datangi lagi. Sia-sia. Uang kami tidak akan bisa pulang. Seperti kata orang, disembelih pun tidak ada darahnya. Saking tidak mampunya ia secara perekonomian - tapi heran, masih mau menipu kami.

Bahwa mungkin uang itu memang nasibnya seperti itu, apa boleh buat. Ibu saya mencegah saya untuk berbuat lebih jauh. Insya allah nanti ada rezeki yang lain. Adik ipar saya yang terkenal temperamen pun menenangkan saya. Waya-waya uang cuma segitu Yung, masih bisa dicari, ujarnya.

Ya sudah, di situ saya menginsyafi diri. Cukup batas sini saja, hanya perlu menunjukkan taring saja. 

Resolusi Tahun 2021 : Ingin Menjadi Lebih Baik

Kini sampan tahun 2021 telah melaju, membelah lautan waktu menuju penghidupan yang lebih baik, dengan harapan dan cita-cita sebagai bendera asa yang menampung dorongan angin motivasi dari buritan.

Ya, tahun 2021 baru ditapaki sepersekian tahun. Masih dalam bilangan belasan hari.

Apa yang sudah kita siapkan untuk tahun 2021 ini? Secara pribadi, tentu saya ingin tahun 2021 ini menjadi lebih baik dibanding 2020. Terutama dalam hal menata hati dan jiwa.

1. Melatih Diri Lebih Sabar

Tak ada yang salah dengan bersabar. Bak kata pepatah lama, mengalah untuk menang. Bersabar adalah menunda kemenangan. Banyak hal yang bisa diraih dengan kesabaran.

Bersabar dalam menghadapi masalah. Bersabar saat menemukan kesulitan dalam belajar. Bersabar mewujudkan keinginan. Dan yang lebih utama adalah bersabar dalam mengendalikan emosi. 

Amarah tidak menyelesaikan masalah. Selain tidak menghasilkan keuntungan, amarah hanya akan meninggalkan banyak kerugian. Hati yang tersakiti akan menimbulkan dendam. Dan dendam yang tak tuntas, akan panjang menjadi kesumat. 

Meskipun kita benar, namun jika menyampaikannya salah, maka sia-sialah usaha kita.  

2. Menjadi Pribadi Penuh Syukur

Bangun pagi dengan penuh kesadaran lalu mengucapkan kesyukuran adalah sesuatu yang sangat berharga. Itu salah satu bentuk kesyukuran paling sederhana. Dan bisa memantik kebaikan lain sepanjang harinya. 

Berbuat baik kepada mahluk-Nya adalah bentuk kesyukuran kita kepada Yang Maha Kuasa. 

Saya ingin menjadi pribadi yang penuh syukur. Berterimakasih atas apa yang Allah sudah karuniakan kepada kita. 

Agar terkikis rasa-rasa rendah seperti tamak, tak pernah merasa cukup dan mementingkan diri sendiri.  

3. Menikmati Waktu

Siapapun kita, di era yang serba gegas seperti ini. Menikmati setiap detik waktu terasa sangat langka dan nyaris tidak mungkin. Kita semua dikejar untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan dalam satu waktu. Kalau bisa, dua atau lebih pekerjaan dalam satu waktu. 

Itu juga yang saya renungi.

Seringkali, sebagai orang kantoran dan juga sebagai seorang freelancer hal yang saya hadapi adalah banyaknya pekerjaan yang harus segera diselesaikan. 

Dan pelajaran yang saya ambil adalah, meskipun ada dua atau lebih pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam satu waktu. Tapi percayalah, hasilnya tidak akan maksimal. Cenderung banyak salah, dan pada akhirnya membutuhkan koreksi lagi. Yang jika waktunya dijumlahkan, sebenarnya sama saja jika kita mengerjakannya satu per satu.

4. Melatih Fokus

Pada akhirnya, jika kita melakukan tiga hal di atas, sebenarnya muaranya adalah satu : menjadi lebih fokus. Bukan sekedar fokus pada pekerjaan kita saja. Namun lebih dari itu, yang terutama adalah fokus kepada keberadaan diri sendiri, fokus dalam menyelesaikan masalah dan fokus pada solusi.

Kita akan senantiasa ingat akan eksistensi diri. Sebagai diri pribadi, sebagai mahluk Tuhan dan tentu saja sebagai bagian dari lingkungan sosial.

Sabar, syukur dan menikmati waktu adalah tiga permata yang tidak boleh lenyap dari diri kita.  

Kesimpulan: Marah Itu Boleh, Asal..

Pada akhirnya, marah adalah senjata terakhir manusia sebagai hewan yang berakal. Marah menunjukkan bahwa ada yang kita pertahankan. Ada wilayah yang tidak boleh diganggu, dicampuri oleh orang lain.

Jika marah batas ini, maka sah-saha saja. Asalkan tetap punya kesabaran dalam mengontrolnya. Jangan sampai emosi memuncak, lalu timbul niat untuk merusak.

Marah yang dilarang adalah marah yang tidak pada tempatnya, marah yang menggunakan kekuatan fisik hingga merusak. Kamu lebih paham soal itu.

Semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi di tahun ini. Aamiin.. (*)

 

Pakdezaki . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates