Minggu, 10 Juli 2016


Tumbuh bersama. Lalu menyertai perjalanan meski tidak ada lagi ikatan.

Fase itulah yang pernah saya jalani bersama dengan Dompet Sosial Insan Mulia (DSIM). Sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan, dengan niche Zakat, Infak dan Sedekah.

Saya ingat, pertama kali direkrut pada bulan Juli 2005. Saat masih berstatus mahasiswa. Gaji pertama yang saya terima saat itu, sebesar Rp.430 ribu dengan 'jabatan' sebagai relawan ahli. Khusus direkrut untuk membidani lahirnya divisi media DSIM : Mulia Media Communication (MMC). Dari situ lahirlah tabloid Koran Jumat (Bertahan hingga 2 tahun), Buletin Jumat Insan Mulia, dan majalah Insan Mulia.

Seiring waktu, saat muncul keputusan Menteri Agama yang mengatur bahwa hanya lembaga nasional yang mendapat persetujuan Menteri Agama saja yang boleh menghimpun dan mendayagunakan zakat, maka DSIM - yang merupakan lembaga lokal, akhirnya berafiliasi dengan Dompet Dhuafa menjadi Dompet Dhuafa Sumsel pada 18 Januari 2013.

Meskipun sebenarnya, sejak tahun pertama (atau kedua) sejak berdirinya, DSIM sudah menjadi bagian dari jejaring Dompet Dhuafa. Jadi sebenarnya tidak ada yang mengejutkan dari perubahan tersebut.

Dalam perjalanan, antara tahun 2011-2012, Divisi Media dimandirikan menjadi lembaga profit Insan Mulia Network (IMN) termasuk pula dengan beberapa personilnya lepas dari DSIM. Selain IMN, unit bisnis lainnya seperti Mulia Akikah dan koperasi syariah Baitul Mal wat Tamwil (BMT) Insan Mulia, juga dimandirikan dan mempunyai badan hukum sendiri. Sehingga, saat DSIM menjalin kerjasama dengan Dompet Dhuafa dan membentuk DD Sumsel telah 'bersih' dari unsur bisnis.

Kekosongan staf media, menyebabkan saya diminta balik kembali ke DD Sumsel. Namun, dikarenakan satu dan lain hal, saya berat untuk bergabung. Saya tetap di IMN, namun demikian saya terus membersamai DD Sumsel di urusan media dan penerbitan seperti yang saya tulis di bagian awal. Hal tersebut terus berlanjut sejak 2013 hingga pertengahan 2016 lalu.

Dua pimpinan cabang DD Sumsel selanjutnya, tetap meminta bantuan saya secara freelance untuk mengurusi media di lembaga zakat tersebut.

Barulah pada awal 2016, pimpinan baru DD Sumsel terpilih. Dan sebelumnya telah didahului pula dengan pembentukan pengurus Yayasan DSIM yang baru. Termasuk beberapa kebijakan yang terkait dengan efisiensi lembaga.

'Hari vonis' itu pun tiba. Tanggal 7 Juni 2016 yang bertepatan pula dengan tanggal 1 Ramadhan 1437 H, saya memaksakan bertemu dengan ketua Yayasan DSIM untuk mendengar langsung keputusan tersebut. Setelah sebelumnya, beberapa kali rencana pertemuan tersebut batal. Ditambah, ada beberapa isu yang berkembang, di kalangan intern dan sampai ke telinga saya (off the record).

Ketua yayasan pun mengatakan beberapa alasan kepada saya. Baik yang tersurat maupun yang tersirat. Semula saya mengira, vonis itu diakibatkan wan-prestasi yang terjadi terkait dengan tanggung jawab saya dalam hal pengelolaan website DD Sumsel dan majalah Aksara Cinta. Tapi ternyata bukan.

Saya menerima dan coba membantu menepis rasa tidak enak yang terbaca dari nada pembicaraan ketua Yayasan DSIM, terkait dengan pemutusah hubungan freelance dengan saya. Bagaimanapun, baik saya maupun sang ketua yayasan pernah berada dalam organisasi yang sama di organisasi pergerakan di kampus dan fakultas. Sehingga ikatan historis tersebut membersitkan rasa ketidakenakan.

Saya memahami alasan yang diajukan dan Saya memakluminya. Bagaimanapun, jauh-jauh hari saya sudah mengingatkan diri sendiri bahwa saya tidak akan selamanya membersamai DD Sumsel. Dan saya juga melihat, beberapa orang staf DD Sumsel sudah siap untuk memegang peran media yang pernah saya gawangi tersebut. Lagipula, beberapa bulan ke belakang, kepada mereka, telah diberikan beberapa pelatihan mengani jurnalistik dan pengelolaan sosial media.

Huff! Dan sejak hari itu, urusan di lembaga tersebut selesai. Saya pun permisi dengan beberapa orang staf, baik bertemu langsung maupun melalui whatsapp. 

Sungguh. Walaupun menyadari konsekuensi dan kemungkinan datangnya hari vonis, namun tetap saja ada sesak yang tersengal di dada. Seakan tidak percaya, Aku dipecat?

Begini rasanya diputus begitu saja, sebelah pihak. Tanpa 'pesangon', tanpa 'terima kasih', tanpa 'salam perpisahan' atau lainnya. Diucap begitu saja. Rasanya seperti diberhentikan dengan tidak hormat! Seharusnya saya duluan mengajukan pengunduran diri. Sehingga, tidak harus mengalami pahitnya rasa dipecat.

Ah, memikir hal tersebut saya menjadi sedih. Serendah itukah diri ini, sehingga saya harus mengharap 'balasan'? Mengharap materi? Lagipula siapa sih saya? Cuma seorang freelance biasa, yang telah mendapat sejumlah honor setiap bulannya. Tak punya kontribusi apapun, kecuali cuma menulis saja.

Aku mah apa atuh.. (Cita Citata mode: On)

Sedih. Itu yang saya rasakan saat itu, hari itu.

Meski demikian, kesedihan itu tak boleh berlangsung lama. Saya punya teman-teman yang lain. Teman-teman di luar komunitas yang selama ini senantiasa saya akrabi. Dan sepulang dari kantor DD Sumsel, saya mampir ke gerai Smartfren yang ada di mal Palembang Icon untuk membeli pulsa internet, lalu tergerak pulang.

Di tengah jalan, saya pun berniat mencari masjid untuk menunaikan shalat Zuhur, di seputaran Taman TVRI.

Tidak ketemu. Namun, secara kebetulan bi idznillah mata saya malah menumbuk plank kantor teman saya. Jadilah saya mampir ke kantor media yang diberi nama Koran Kito. Orang-orang lama yang pernah bergabung dulu di Beritapagi, saya jumpai di kantor tersebut.

Betapa senangnya saya melihat mereka lagi. Keakraban dan hangatnya kenangan bersama yang pernah kami jalani dulu saat saya pernah menjadi staf ilustrator di kantor Beritapagi, mampu melunturkan kesedihanku hari itu.

Karena hidup harus tetap berlangsung. Kesedihan hanyalah persinggahan sementara untuk memberi arti pada kegembiraan hakiki.

*Saya sengaja tidak menuliskan nama-nama orang yang bersangkutan. Demi menjaga privasi. Saya pun memutuskan untuk unfollow beberapa nama walaupun tidak sampai menghapus pertemanan di jejaring Facebook. Termasuk Fanspage lembaga tersebut. Entah sampai kapan..

2 komentar

Life must go on, and you shall move on !
Hasbunallah Wa Ni'mal Wakil.

Bro....kita cuma beda 1 hari. Ana di-Lay Off (bahasa kerennya di PHK) dari kerjaan pada tanggal 6 Juni 2016 (6.6.2016). What a fancy number !!

Now you see us, are we dead by now because of no longer working there ?!!
Ana malah berkomitmen akan bikin tuh kumpeni Nyesell dan Nangis Bombay karena telah melepas Asset Berharga yg berasal dari Plembang ini. Waka Waka e e...

REPLY

What? Dipecat jugo?
Wah, rasanya pasti makmana gitu.

Kemarin itu lagi sentimentil be.
Dan benar, hidup harus terus berjalan
Dan mungkin juga harus mulai berlari.

See ya bro.

REPLY

Pakdezaki . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates